Persepsi Masyaraket Tentang Penggunaan Formalin Dalam Bahan Makanan


Makanan adalah salah satu kebutuhan pokok hidup masyarakat, karena dari makanan masyarakat memperoleh zat- zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Zat gizi dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses dalam tubuh, dan menyediakan energi bagi fungsi tubuh (Muchtadi, 2010). Bahan makanan yang dibutuhkan tubuh ialah bahan makanan yang sehat dan aman.
Sehat dalam pengertian, bahan makanan dapat memenuhi jenis dan jumlah zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Zat gizi yang harus ada dalam bahan makanan agar tubuh sehat, meliputi golongan protein, lemak, dan karbohidrat yang disebut zat gizi makro; serta vitamin dan mineral yang disebut zat gizi mikro (Haris dan Karmas (Eds.), 1989; Linder, 1992). Sedangkan, aman artinya bahan makanan yang dikonsumsi harus bebas dari bahan racun dan berbahaya yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia (BPOM, 2003). Keamanan makanan atau pangan menurut Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Pemerintah RI, 1996). Pada umumnya, bahan makanan berasal dari komoditas pertanian, perikanan dan perkebunan yang rentan mengalami kerusakan dan pembusukan. Kerusakan yang terjadi sering disertai dengan pembentukan senyawa beracun, disamping hilangnya nilai zat gizi bahan pangan (Desrosier, 2008). Oleh karena itu, bahan makanan harus segera diolah setelah panen.
Pengawetan dan memasak merupakan dua macam pengolahan bahan makanan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Pengawetan pada hakikatnya adalah merupakan salah satu usaha untuk menekan, mengurangi atau menghalangi mikroba yang tergolong pathogen dan penghasil racun pada bahan makanan (Supardi dan Sukamto, 1999). Sedangkan, memasak merupakan cara pengolahan agar bahan makanan dapat diterima secara sensori, baik dari penampilan (aroma dan rasa) maupun teksturnya (kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan) (Apriyantono, 2002).
Namun, pada kenyataan menunjukkan bahwa pengolahan tidak selalu menghasilkan keuntungan sesuai yang diinginkan, yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara sensori sering kali, pengolahan dapat menimbulkan hal yang sebaliknya, yaitu menghasilkan senyawa toksik sehingga produk menjadi kurang atau tidak aman, kehilangan zat gizi dan perubahan sifat sensori kea rah yang tidak dinginkan (Apriyantono, 2002).
Apalagi, pengawetan bahan makanan dilakukan dengan proses dan penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku (Cahyadi, 2008). Kasus formalin dalam bahan makanan, merupakan salah satu contoh dari sekian banyak penyalahgunaan bahan tambahan yang tidak sesuai dengan peraturan.
Sampai saat ini, penggunaan formalin dalam bahan makanan masih marak dilakukan para produsen yang tidak bertanggung jawab. Bukti menunjukkan bahwa banyak bahan makanan yang mengandung formalin beredar di beberapa pasar, seperti Malang, Medan, Palu, Depok, dan Sidoarjo (Innamasari, 2007; Karo-karo, Trijaya dan Fit, 2008; Darlis, 2009; Virdhani, 2009; Surabayapost, 2009; Jawa Pos, 2009). Padahal, Pemerintah RI melalui Menteri Kesehatan dengan Permenkes RI No. 722/MENKES/PER/IX/1988 dan No. 1168/MENKES/PER/X/1999, telah menetapkan bahwa formalin merupakan bahan pengawet yang dilarang untuk bahan makanan dan olahannya.
Formalin, yang tidak lain larutan formaldehid dalam air, merupakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia. Beberapa hasil penelitian menujukkan bahwa formalin atau formaldehid dapat menyebabkan dampak akut, seperti iritasi dan kronik sebagai karsinogen (Hove and Lohrey, 1976; Ritchie and Lehnen, 1987; Shaham et al., 1996; Naria, 2004; Zahra, Parviz, Simin, dan Mehdi, 2007; Nolodewo, Yuslam, dan Muyassaroh. 2007; Santy, 2007; Innamasari, 2007; Susanti, 2007; Kurnia, 2007; Kartikaningsih, 2008).
Di sisi lain, ancaman bahaya formalin dalam bahan makanan diperparah oleh rendahnya pengetahuan masyarakat dalam mengolah bahan makanan (Mulia, 2007). Kebiasaan masyarakat dalam memasak, belum beroritentasi pada nilai gizi dan keamanan bahan makanan.
Pada umumnya, masyarakat memasak bahan makanan lebih berorientasi pada cita rasa dan tampilan bahan makanan, sehingga aspek utama menyediakan bahan makanan sehat dan aman terabaikan. Pengetahuan masyarakat dalam memasak bahan makanan masih terbatas. Sedangkan, keracunan makanan, diantaranya disebabkan oleh karena kelalaian dan ketidaktahuan masyarakat dalam pengolahan bahan makanan (Rafif, 2010).
Selama ini, masyarakat memperoleh pengetahuan tentang memasak dari keluarga yang diturunkan dari generasi ke generasi atau pengalaman pribadi (Hartono, 2006).
Kondisi pengetahuan masyarakat seperti ini dapat membahayakan keselamatan masyarakat sendiri. Pada dasarnya, pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab gizi buruk pada masyarakat (Mardiyansyah, 2008). Oleh karena itu, masyarakat perlu mendapat pendidikan tentang gizi dan keamanan pangan yang memadai dari pihak terkait.
Tanggapan masyarakat terhadap kasus bahan makanan berformalin belum banyak terungkap. Selain itu, keadaan pengetahuan masyarakat tentang gizi dan keamanan pangan juga masih sedikit data yang tersedia. Oleh karena itu, perlu ada penelitian yang representatif tentang tanggapan (persepsi) masyarakat terhadap masalah bahan makanan berformalin dan pelaksanaan pendidikan gizi dan keamanan pangan ini.
Penelitian ini dilakukan untuk: (1) mendeskripsikan tanggapan masyarakat tentang penggunaan formalin dalam bahan makanan; (2) mendeskripsikan tanggapan masyarakat tentang pelaksanaan pendidikan gizi dan keamanan pangan.[....]

Selengkapnya...

0 Response to "Persepsi Masyaraket Tentang Penggunaan Formalin Dalam Bahan Makanan"

Post a Comment