Efektivitas Antibiotika Turunan Sefalosporin terhadap Kuman di Jaringan Apendiks


Abstrak
Penggunaan kemoterapetika atau antibiotika yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu, sekarang menjadi kurang efektif. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan antibiotika/kemoterapetika yang luas pemakaiannya dalam masyarakat. Untuk mengetahui efektivitas masing-masing turunan sefalosporin dilakukan penelitian dengan kuman yang ditemukan dari bahan jaringan apendiks. Setelah jenis kuman diidentifikasi, dilakukan uji kepekaan masing-masing kuman yang ditemukan terhadap antibiotika turunan sefalosporin generasi I, II dan III.
Setelah diteliti efektivitasnya, terlihat bahwa sefalosporin generasi I kurang efektif terhadap kuman yang ditemukan pada jaringan apendiks di mana ditemukan semua kuman gram negatif. Di antara generasi I tampaknya hanya sefazolin mempunyai efektivitas cukup balk yaitu terhadap 75% kuman yang ditemukan. Sefalotin mempunyai efektivitas kurang baik yaitu hanya efektif terhadap 45,8% kuman yang ditemukan. Selanjutnya generasi II dan III mempunyai efektivitas yang balk, kecuali sefsulodin yang hanya efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa.
Terhadap kuman E. colt', didapatkan efektivitas yang berbeda bermakna di antara turunan sefalosporin secara keseluruhan. Letak perbedaan bermakna adalah pada efektivitas sefazolin dibanding turunan generasi I yang lain, tetapi tidak dijumpai perbedaan bermakna dengan turunan generasi II dan III, kecuali dengan sefsulodin.
PENDAHULUAN
Sudah lama diketahui bahwa antibiotika atau kemoterapetika yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu, sekarang menjadi kurang efektif. Di sinilah letak perlunya pemantauan efektivitas antibiotika atau kemoterapetika yang luas pemakaiannya dalam masyarakat(1).
Sefalosporin mulai dikenal sejak tahun 1945. Guiseppe Brotzu berhasil mengisolasi dan menyelidiki salah satu spesies dari lumut, yaitu Cephalosporium acremonium(2,3). Lumut ini mempunyai efek antibakterial terhadap kuman tifoid, Brucela, kuman kolera, dan Staphylococcus aureus. Tahun 1949, Dr.Edward Abraham dan H.S. Burton menemukan sedikitnya ada dua macam antibiotika yang diproduksi oleh lumut tersebut. Antibiotika pertama dinamakan sefalosporin P, dan antibiotika ke dua dinamakan sefalosporin N. Struktur ini kemudian diberi nama penisilin N tetapi sifat antibakterialnya berbeda dengan bensilpenisilin. Apabila penisilin N dijalankan secara kromatografi akan terlihat beberapa substansi yang diberi tanda A, B dan C. Komposisi C keluar menjadi suatu antibiotika dan diberi nama sefalosporin C. Akhirnya, pada tahun 1964 dua macam sefalosporin digunakan untuk kepentingan klinik, yaitu sefalotin dan sefaloridin. Sesudah itu diikuti dengan munculnya turunan-turunan baru(3).
Ciri khas kelompok sefalosporin adalah asam 7-amino-sefalosporanat yaitu gabungan antara cincin beta-laktam dan hidrotiasin. Melalui perubahan rantai R pada cincin beta-laktam dihasilkan bermacam jenis sefalosporin yang mengakibatkan perubahan sifat antibakterial dan kimiawi, sehingga kemudian dikelompokkan dalam generasi I, II dan III(1).
Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana efektivitas masing-masing turunan sefalosporin terhadap jenis kuman yang didapat pada jaringan apendiks. Penelitian dilakukan di Bagian Patologi Klinik FKUI/RSCM dari Maret 1991 sampai dengan April 1991.
 BAHAN
Bahan penelitian adalah potongan jaringan usus buntu dari 30 penderita yang dioperasi di Bagian Bedah FKUI/RSCM. Potongan jaringan apendiks ditanamkan ke dalam media cair BHI dan tioglikolat, lalu dikirim ke Bagian Patologi Klinik FKUI/RSCM. 
CARA PEMERIKSAAN
Bahan yang didapat dalam media cair BHI dan tioglikolat diinkubasi 37°C selama 24 jam. Setelah itu ditanamkan pada media agar darah dan Mac Conkey. Bila tumbuh kuman, dilakukan tes identifikasi dan resistensi memakai cakram antibiotika turunan sefalosporin. Tes resistensi dilakukan memakai cara difusi menurut Bauer-Kirby(4,5).
Untuk Tes Kepekaan dipakai :
1) Media perbenihan Muller Hinton(6). Media ini ditempatkan pada lempeng petri dengan diameter 15 cm dan tebal 3-4 mm.
2) Bahan inokulum : Tiap jenis kuman ditanam dalam air pepton, dan dibiarkan hingga kekeruhan sesuai standar Mac Farland 0,5(4).
3) Cakram antibiotika : Dipakai cakram antibiotika turunan sefalosporin generasi I, II dan III dengan tanggal kadaluwarsa 6/91 ke atas. Antibiotika turunan sefalosporin : Generasi I : sefalotin, sefradin, sefazolin, sefadroksil. Generasi II : sefuroksim, sefamandol, sefmetazol. Generasi III : sefoperazon, sefotaksim, seftazidim, sefsulodin, sefotiam.
4) Kuman Kontrol :
Dinakai kuman E. coli (ATCC 25922), Staphylococcus aureus (ATCC 25923) dan Pseudomonas aeruginosa (ATCC 27853). Kuman-kuman tersebut diuji kepekaannya terhadap cakram antibiotika seperti yang telah ditetapkan oleh NCCLS dan WHO (tabel 1). Uji coba ini dilakukan setiap kali membuat media baru untuk menguji mutu media perbenihan, cakram antibiotika dan metoda yang digunakan(6,7). 
CARA KERJA
Kuman yang tumbuh pada perbenihan BHI dan tioglikolat ditanam pada agar darah dan Mac Conkey. Bila kuman Gram positif, dilakukan identifikasi dengan cara yang lazim(8,9). Sedang terhadap kuman Gram negatif dilakukan identifikasi dengan cara modifikasi sistem r/b untuk kuman dengan oksidase negatip dan cara yang lazim untuk kuman dengan oksidase positip(8,9). Sesudah didapat jenis kuman, dilakukan uji kepekaan menurut cara Bauer-Kirby. Kuman ditanam dalam media air pepton. Setelah timbul kekeruhan yang sesuai dengan standar MacFarland 0,5, suspensi kuman ditanamkan dengan lidi kapas steril ke media agar Muller Hinton secara merata. Setelah itu ditempelkan semua jenis cakram antibiotika sefalosporin dengan menggunakan pinset steril dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Zona hambatan yang terjadi diukur dalam milimeter, kemudian ditetapkan kuman peka, kurang peka atau resisten dan dihitung jumlah kuman dalam prosentasi.[........]

0 Response to "Efektivitas Antibiotika Turunan Sefalosporin terhadap Kuman di Jaringan Apendiks"

Post a Comment