Dari hampir 7 milyar populasi manusia di bumi 237 juta di antaranya merupakan bangsa Indonesia. Sejak kemerdekaannya 66 tahun yang lalu, bangsa Indonesia senantiasa berpartisipasi aktif dalam memelihara ketertiban dan perdamaian, termasuk dalam upaya memelihara kestabilan ekosistem bumi. Belakangan ini memang ada suara-suara sumbang yang menyatakan, bahwa negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, begitu rakus dalam mengeksploitir sumber daya alam, terutama dalam memanfaatkan kayu-kayu dari hutan tropis.
Tidak heran jika di beberapa negara industri maju, terdapat sekelompok masyarakat atau LSM yang menganjurkan pemerintahnya untuk memboikot kayu tropis. Tak dapat di pungkiri, selama ini perekonomian negara sedang berkembang, khususnya yang berada di kawasan tropis, masih tergantung pada hasil hutannya. Jika ekspor hasil industry perkayuan distop maka sudah tentu perekonomian pun akan babak belur.
Bagi bangsa Indonesia kayu memang masih merupakan primadona ekspor non migas, devisa yang dihasilkan antara lain dipergunakan untuk biaya pembangunan. Dalam hal ini terjadi tarikan kepentingan, antara kelestarian lingkungan dan kepentingan pembangunan. Meskipun dikenal adanya konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan, namun realisasinya masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Kenyataannya masih ditemukan banyak penyimpangan dan pelanggaran terhadap berbagai ketentuan mengenai lingkungan.
Baik UU, PP, Perda bahkan konvensi mengenai lingkungan, selayaknya diterapkan sebagaimana mestinya. Namun, penyimpangan masih tetap ada, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Di kota-kota tertentu, masih banyak industri yang beroperasi tanpa menghiraukan ketentuan mengenai pengelolaan limbah. Begitu pula di hutan-hutan, baik di Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi, masi banyak pengusaha pemegang HPH yang “nakal”, seperti menyerobot hutan lindung, atau menebang kayu secara semberono, begitu pula dengan pengusaha HPH yang menunggak dana reboisasi jumlahnya tak sedikit. Dalam hal ini pemerintah hendaknya memperketat perijinan serta meningkatkan pengawasan di lapangan. Selayaknya pengusaha yang diberikan ijin HPH, hanya “pengusaha” yang berwawasan lingkungan” saja.
Luas arel hutan kritis mencapai puluhan juta hektar. Untuk penghijauan paling tidak diperlukan anggaran sekitar 1.000 dollar AS per hektar. Jadi untuk keseluruhan diperlukan puluhan triliyun rupiah.[...]
0 Response to "Dampak Rusaknya Hutan Tropis"
Post a Comment